Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan KASIH
Pakaian adat tradisional Sulawesi Utara. (Foto: facebook)

Mengenal Busana Adat Sulawesi Utara, dari Pakaian Minahasa Bajang hingga Tonaas Wangko

SINAR HARAPAN – Sulawesi Utara tidak saja terkenal karena destinasi wisata alam yang luar biasa keren. Ternyata di Provinsi ‘Nyiur Melambai’ ini juga terselip sejumlah busana atau pakaian adat yang menarik lho!

Pakaian khas daerah yang satu ini memiliki corak dan model yang berbeda dibandingkan dengan pakaian Sulawesi lainnya.

Dengan ragam pakaian adat yang beragam ini kian memperkaya budaya dan adat daerah dari Indonesia.

Pengunjung yang tengah berwisata ke Sulawes Utara tentunya ingin tahu kan?

Berikut Lima Pakaian Adat asal Sulawesi Utara yang menarik untuk disimak:

  1. Pakaian Tradisional Gorontalo.

Bahan dasar pakaian adat tradisional Gorontalo berasal dari kapas mentah yang dipintal menjadi benang. Busana adat untuk perempuan memiliki ciri dari bentuk kebaya tanpa motif dilengkapi dengan sarung pada bagian bawahnya. Sedangkan aksesoris tambahannya berupa gelang padeta, ikat pinggang, hingga ikat kepala untuk rambut perempuan yang dikenal sebagai Baya Lo Boute yaitu ikat kepala untuk rambut wanita.

Pakaian wanita ini dinamakan dengan Biliu dengan dasar berwarna antara hijau dan kuning. Sementara pakaian adat khusus laki-laki menggunakan adat Makuta. Pakaian ini dilengkapi dengan pakaian berlengan pendek, dan ditambah dengan aksesoris tudung Makuta. Umumnya, pakaian adat asal Gorontalo ini, sering digunakan saat pernikahan.

Khusus untuk akad nikah, maka pakaian pengantin Gorontalo disebut dengan pakaian adat Gorontalo Walimono dan Payungga. Pada pakaian pengantin Gorontalo untuk wanita yang disebut dengan Biliu yang memiliki arti “diangkat”. Pakaian adat Biliu ini digunakan saat pegantin wanita bersanding dengan mempelai pria di tempat pelaminan atau puade.

Pakaian tradisional Minahasa Bajang. (Foto: twitter)
  1. Pakaian Tradisional Minahasa Bajang.

Suku Minahasa yang mendiami wilayah di sekitar semenanjung Sulawesi Utara juga memiliki pakaian adat tersendiri. Bahan dasar pakaian adat Suku Minahasa terbuat dari kapas yang dijadikan kain. Hasil dari memintal kapas hingga menjadi dari kain itu dinamakan Bajang.

Busana dengan bawahan berupa sarung menjadi ciri khas pakaian adat Suku Minahasa. Dilengkapi dengan dasi dan destar penutup kepala, yang berbentuk segitiga. Untuk kaum perempuan, maka lebih sering menggunakan kebaya dan kain bagian bawah berwana sama atau yapon. Kaum perempuan juga sering memberikan hiasan pada sanggul rambut, leher, llengan, hingga telinga.

  1. Pakaian Tradisional Tonaas Wangko dan Walian Wangko.

Pakaian Tonaas Wangko adalah sebuah kemeja berlengan panjang, yang memiliki kerah tinggi berkancing dan tanpa memiliki saku serta didominasi engan warna hitam. Pada bagian kemejanya, dihiasi dengan motif bunga padi, motif ini terletak pada leher baju dan sepanjang ujung baju bagian depan.

Untuk melengkapi penampilan, umumnya pakaian Tonaas Wangko ini dikenakan bersama dengan topi berwana merah. Bagian topi juga terdapat ukiran motif padu kuning keemasan, sehingga menyatukan seluruh penampilan.

Sedangkan pada pakaian Walian Wangko merupakan pakaian adat yang dimodifikasi dari Tonaas Wangko. Secara umum, kedua pakaian ini cukup mirip, hanya saja Walian Wangko lebih panjang layaknya jubah atau gamis. Pakaian adat Walian Wangko terdiri dari kemeja berwarna putih, yang juga dihiasi oleh corak bunga padi.

Suku Tonaas Wangko akan mengenakan kebaya panjang berwarna putih atau ungu terutama khusus untuk kaum perempuan. Pakaian Tonaas Wangko yang dikenakan kaum perempuan ini akan digunakan bersamaan dengan kain sarung batik berwana hitam. Kaum perempuan juga memiliki topi mahkota, serta tambahan aksesoris seperti selempang atau kalung leher.

  1. Pakaian Tradisional Sangihe Talaud.

Pakaian tradisional ini berasal dari Suku Sangihe Talaud dan sering digunakan saat upacara Tulude. Pakaian adat khas Sangihe ini, terbuat dari serta kofo atau serat tanaman pisang terkuat. Serat ini kemudian di tenun dan dipintal untuk menjadi selembar pakaian yang dikenal dengan busan Laku Tepu. Umumnya pakaian ini berwarna dasar merah, hijau, atau kuning.

Laku Tepi adalah jenis pakaian yang berlengan panjang, dengan untaiannya menjulur hingga ke tumit. Pakaian ini dikenakan bersamaan dengan aksesoris lainnya seperti popehe atau ikat pinggang, bandang atau selendang di bahu, paporong atau penutup kepala, dan kahiwu yang merupakan rok rumbai. Baik pria maupun wanita, bisa menggunakan perlengkapan aksesoris tersebut.

Busana adat warga Sangihe ini dibedakan menjadi tiga ranah yaitu busana adat untuk pemerintahan, busana adat untuk pernikahan, serta busana adat untuk ritual. Dalam lingkup pemerintahan menggunakan warna biru, merah, dan kuning. Untuk lingkup pernikahan, terdapat perbedaan pada aksesoris kepalanya yang mengenakan sunting topo-topo. Sedangkan untuk ritual, umumnya berwana merah atau ungu yang dilengkapi dengan selendang.

  1. Pakaian Tradisional Bolaang Mongondow.

Terakhir adalah pakaian adat tradisional Bolaang Mongondow. Dengan kemajuan budaya pada Bolaang Mongondow, membuat suku ini memiliki aneka ragam jenis pakaian adat Sulawesi Utara. Bahkan pakaian khas ini pun menjadi warisan budaya hingga saat ini.

Busana Suku Bolaang Mongondow adalah sebuah pakaian kulit kayu atau pelepah nenas, yang diambil dan diolah seratnya. Serat kayu tersebut diberi nama Lanut oleh warga sekitar, kain ini ditenun dan dibuat menjadi kain. Kemudian serat yang telah menjadi kain dijahit, untuk menjadi busana sehari-hari dari masyarakat Suku Bolaang Mangondow.

Jika dilihat dari modelnya, busana adat Bolaang Mongondow ini mendapat pengaruh dari budaya Melayu. Untuk kaum perempuan akan terdiri dari kain dan kebaya atau salu. Sedangkan untuk kaum pria terdiri dari ikat kepala, baniang atau baju, celana, serta sarung. Bagi bangsawan, aksesoris yang dinekana pun menjadi lebih mewah, seperti berwarna emas atau merah mencolok.

Busana Bolaang Mongondow ini, sangat berkaitan dengan latar belakang kehidupan masyarakat pada masa lalu. Struktur masyarakat yang bernuansa kerajaan membuat stratifikasi sosial yang tegas, busana adat lah yang membedakan perbedaan status sosialnya. Dahulu busana adat ini hanya dikenakan pada kesempatan tertentu, namun seiring berkembangnya zaman kini kita bisa mengenakan busana Bolaang Mongondow hampir pada seluruh kesempatan.

Ibarat peribahasa ‘Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’. Begitu juga dengan pakaian adat asal Sulawesi Utara. Yang pasti setiap pakaian tradisionalnya memiliki arti dan sejarah yang mengagumkan lho!. (norman meoko)